Kamis, 13 Desember 2007

Selasa, kepulangan fahmi dari padang.

sebutlah ini oleh-oleh.....

Benar,kan?! Sesebentar apapun perjalanan pasti menghasilkan segudang cerita seru. Perjalanan naik pesawat, photo-photo perjalanan yang pastinya memberi cerita lebih (betuk awan, orang-orang yang ditemui, parade angkot hias,dll).

Membahas oleh-oleh ceritalebih lengkap dan detil biar fahmi aja yang buat. Tentang visual, kampanye dan Ksb itu sendiri fahmi tahu lebih banyak. Aku hanya akan mengungkapkan sisi lain yang aku tangkap dari cerita fahmi.

Berawal dari sebuat kata yang menggelitik yang fahmi ucapkan; penganaktirian. Ya, seperti ada penganaktirian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wilayah yang berada di luar jawa. Informasi dari televisi yang diterima masyarakat padang tidak diimbangi dengan infrastruktur yang dibutuhkan. Sebutlah isu pendidikan, sarana komunikasi, sarana transportasi, juga suplemen pengetahuan lain yang mampu membuat orang lebih mandiri.

Hal ini sungguh sangat berhubungan dengan isu dan penyikapan visual secara tidak langsung. Imbasnya, mau ga mau, berpengaruh juga dengan penyadaran bencana yang sedang dilakukan oleh anak-anak KSB.

Aku seperti tersadarkan ketika mendengar apa yang telah dituturkan fahmi (lebih jelas lihat blog fahmi). Terbayang ketika pertama kali menguatkan tekad untuk terjun di dunia komunitas paling aheng bernama iF. Sepak terjang dan guling gasahan yang dirasakan ternyata berbuah baik dan keren.

Bagaimana tidak, jika dengan biaya yang sangat minim mampu mambangun imej yang sampai sekarang (meski iF hanya mampu bertahan dari 2004-2006) masih sangat antusias dan hangat jika dibicarakan. Dalam dua tahun lebih dari sepuluh media massa (Koran&televise) local maupun nasional memuat berita dan kegiatan yang dilakukan oleh iF. Menjadi pembicaraan yang serius (karena sangat mungkin untuk diseminarkan bahkan jadi mata kuliah), sampai pembicaraan yang atah adol (ketika dibicarakan diatas motor sambil boncengan dengan mata yang tak lepas melirik kiri kanan, atau ketika anak-anak iF lagi beres-beres menyiapkan after school show). Dalam dua tahun pula sudah ratusan artis yang sempat menggunakan menggunakan iF sebagai media untuk mengekspresikan kebolehannya. Baik itu yang berhubungan dengan musik dan pertunjukan, seni rupa dan visual, juga yang berhubungan dengan baca tulis. Dari dalam dan luar negeri!

Sungguh. iF mampu seperti samasekali tidak menawarkan dan mempertunjukkan sesuatu yang sedang ramai-ramainya di usung media. iF samasekali tidak berteriak, tapi berbisik. iF tidak pernah merencanakan sebuah acara yang bombastis untuk dapat dinikmati oleh ribuan orang dengan dukungan media yang kahot. Tidak!

iF hanya melakukan hal-hal yang orang lain bakal bilang suatu hal yang cemen dan nothing. Seperti remah atau butir pasir. Tapi justru karena remah dan butir pasir itulah yang lambat laun mewujud sebagai bongkahan roti dan pondasi bangunan. Dengan acara yang cemen dan murahan, dengan pendukung (promosi; poster, flyer,dll.) yang terbatas dan terbata, akhirnya bias juga menjadi salah satu syarat kekerenan kontemporer (ngambil dari tangankiri bulletin bodobodo). Menjadi identitas nyata sebuah komunitas.

Identitas yang kemudian menjadi acuan dan trend tersendiri di kalangan anak muda bandung pada khususnya dan jawa barat pada umumnya. Identitas yang dibangun hanya dengan mengandalkan kemauan yang keras untuk bias memfasilitasi (bukan diakui!). Identitas yang sampai sekarang masih bias dan akan selalu dibanggakan oleh anak-anak muda bandung dan penggerak iF terutama.

Identitas itu didapat bukan karena iF adalah sebuah komunitas dengan segudang referensi gaul (meski kadang orang yang merasa gaul adalah mereka yang dangkal dari segi pergaulan). Lebih dari itu, iF mampu mengangkat isu bahwa gaul yang diinginkan banyak anak sekarang tidak selalu harus yang bersifat bombastis dan lagi in. iF menawarkan alternative kekerenan yang barangkali belum dan tidak terpikirkan oleh banyak orang.

Hanya. Sekali lagi;hanya. Seperti tadi diatas sudah diulas. Maka sekarang sebagai penegasan, aku berkata; meski hal yang sifatnya “hanya” jika dilakukan dengan tekun dengan tanpa kehilangan tujuan maka lambat laun akan menjadi suatu keutuhan yang dahsyat.

Hubungannya dengan dongeng dari fahmi bias jadi kurang begitu relevan. Tapi sejauh komunitas hanya memikirkan hal yang sifatnya wah, maka kesulitan penyampaian akan dirasakan. Lambat laun. Pasti.

Bukankah lebih enteng melakukan hal yang seperti tak berguna tapi mampu merebut hati khalayak secara berangsur? Contoh konkrit adalah seperti adanya kumpulan non formal rutin seminggu sekali. Tiap orang disuruh mempresentasikan hal baru (film,bacaan,kenalan,dll) kepada yang lainnya. Tak perlu dikomentari apalagi diperdebatkan. Biarkan mengalir begitu saja. Adapun kalau ada yang menarik, itu bias didiskusikan dan dibahas lebih jauh (dijadiin kegiatan;seminar, workshop, lomba,dll.). Satu hal lagi yang tak kalah penting, kegiatan seperti ini akan sangat menyenangkan dan tidak membebani tapi sangat membuka kemungkinan untuk peningkatan kualitas induvidu.

Tidak percaya?, buktikan saja!

Thanxlovesorry.embrace…



Tidak ada komentar: