Jumat, 28 Desember 2007

proses

Tadi malam, sebelum keberangkatan pungki, aku dan fahmi ngobrol kesana-kemari. Intinya, kalo pake istilah fahmi, terfigurasikan pada masalah proses. Suatu permasalah yang tak akan pernah berhenti dan tuntas dibahas sampai kapanpun.

Masalah itu bisa berhubungan dengan kalian dan siapapun. Dalam benakku, yang namanya masih bisa berdegup dan menghembuskan nafas, maka ‘titel’ proses akan tetap melekat.

Kalian di padang, garut, bengkulu, bantul. Aku, fahmi, pungki dan david di bandung juga tak pernah lepas dari proses itu. Terus mengalami. Permasalahan yng terjadi adalah sering lupanya kita akan kesadaran untuk berproses itu. Barangkali emang dari dulu (sudah membudaya dan akut) menyadari akan sebuah proses kurang dianggap penting. Jangankan menyadari, menghargai sebuah proses aja kebanyakan orang masih belum bisa. Pernahkah kita melihat gambar, lantas membayangkan seperti apa keadaan (ide, harapan dan emosi) si penggambar hingga menjadikan gambarnya seperti itu? Pernahkah kita makan nasi goreng, terus kita membayangkan kejadian sebelum makanan itu dinamakan nasi goerng? Seberap seringkah kita meikirkan kembali proses yang terjadi sebelum kejadian itu terjadi?

Sungguh, si proses ini sangat mungkin dan bisa dihubungkan dengan segala isu yang ada dimuka bumi ini. Dari isu politik, ekonomi, budaya, komunitas, fashion, desain, agama, apapun!

Jika aku mau mendramatisir, bukan di negara kita aja kurangnya penyadaran proses ini. Tapi di seluruh dunia. Percayakah kalian bahwa segala fenomena yang terjadi sekarang adalah karena proses seperti disembunyikan dari manusia. Jikalah terlihat dan tahu, konsumtif, penggarukan aset dunia, ketimpangan dan global warming tak akan terjadi!

Karya (baca:desain), bagi si pekarya, menurut fahmi adalah seperti melahirkan. Ada sisi spiritual dan pergulatan emosi yang kuat dalam prosesnya. Ketika sudah lahir, bagi yang kurang menghargai proses, itu akan dibombardir; tak dihargai. Bagi yang menghargai proses, minimal ada dialog dan diskusi tentang karya tersebut.

Bagi penggiat komunitas (seperti kalian?), dengan sadar proses akan mampu menjadi sebuah komunitas yang asik dan tahan tantangan. Berani dianggap aneh adalah energi untuk penyadaran itu. Aneh dalam artian kita tahu dan sadar bahwa apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan banyak orang dengan tanggungjawab.

Kita (aku dan fahmi) sepakat; sejelek, separah, sesakit, seenjoi, sekeren, “seapapun” apapun sebuah proses pasti didapat perubahan setelahnya. Barangkali jika kita menyadari dan mampu memanage emosi dalam berproses tersebut, baiklah perubahannya. Tapi jika tidak disadari, apalagi dengan emosi yang semrawut, bisa dipastikan hasilnya kurang mendekati baik.

Oke, barangkali terlalu jauh.

Mdr, cdasc, ksb (kita), masyarakat, sedang mengalami itu. Ide, gagasan, harapan, kompromi, diskusi, konflik, kontradiksi dan segala hal yang telah dan akan dialami adalah proses itu sendiri. Aku, dengan tulisan ini adalah proses.

Mari berproses.

Thanxlovesorry.embrace...

Tidak ada komentar: